Tradisi Sadranan Plukisan cepogo

"Plukisan"
Sumbung cepogo

Boyolali - Pertengahan bulan Sa'ban atau Ruwah dalam penanggalan Jawa, warga di Kabupaten Boyolali, Jateng menggelar tradisi Sadranan. Sebuah tradisi kenduri di lokasi pemakaman umum untuk mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia.
Hari ini, tradisi Sadranan atau Nyadran digelar masyarakat sejumlah desa di Kecamatan Cepogo, Boyolali. Antara lain di Desa Plukisan dan Gudang
Uniknya Sadranan di daerah Cepogo ini, setelah kenduri di lokasi makam setempat, kemudian diikuti silaturahmi. Para saudara, kerabat, teman hingga relasi, berdatangan untuk silaturahmi.
Pihak tuan rumah pun sudah menyiapkan berbagai hidangan untuk menjamu tamu yang datang. Sehingga suasananya mirip dengan perayaan Idul Fitri atau Lebaran.
"Tradisi Sadranan dikemas dari ajaran Wali Songo. Dimulai jaman dahulu, sekitar tahun 1450-an, ketika jaman Sunan Kalijogo atau Kerajaan Demak melebarkan dakwahnya sampai ke pedalaman sebelah selatan ini," papar KH Maskuri, sesepuh warga Desa Sukabumi, ditemui usai memimpin dzikir tahlil dan doa dalam Sadranan di makam Plukisan, Dukuh Plukisan, Desa Sumbung, Kecamatan Cepogo, Boyolali, Sabtu
 (28-5-2018)
Dijelaskan, awal mula tradisi Sadranan ini ketika jaman Sunan Kalijogo bersama pengikutnya melakukan dakwah atau penyebaran agama Islam. Di wilayah ini, konon dahulu kala ditempat ini belum mengenal agama. Namun mereka sudah berkumpul melakukan doa.




"Lalu diarahkan menjadi Sadranan ini. Sadranan ini memiliki arti agar hatinya teringat kepada leluhur, orang tua," katanya.Tradisi tersebut terus berlangsung hingga sekarang. Setiap pertengahan bulan Ruwah para ahli waris melakukan ziarah ke makam-makam leluhurnya.



Selain itu juga dilaksanakan Kenduri Punggahan yang berlangsung di masing-masing RT lingkungannya. Malam harinya dilaksanakan dzikir tahlil bersama.
"Selanjutnya tadi pagi dilaksanakan bubak atau bersih-bersih makam. Kemudian kumpul bersama lagi di makam untuk Nyadran dan doa bersama," 

Dalam Sadranan di makam ini, setiap warga membawa tenong berisi berbagai makanan. Setelah dzikir, tahlil dan doa bersama di makam teraebut, tenong pun dibuka dan digelar makan bersama.




"Tenong ini untuk menjamu ahli waris yang datang dari jauh ke makam ini untuk ziarah dan nyadran. Tenong ini ciri khas untuk menjamu," 
Sementara itu tentang tradisi saling silaturahmi ke rumah-rumah warga,  setelah dari ziarah ke makam, para ahli waris dari jauh itu mampir ke sanak familinya di Dukuh setempat. Tradisi ini terus berlangsung hingga sekarang. Bahkan, tak hanya saudara atau kerabat, tetapi juga mengajak teman-temannya atau kerabat yang lain.
Tuan rumah juga mengundang saudara, teman sahabat maupun teman kerjanya




Pelaksanaan Sadranan sendiri, dilaksanakan di pertengahan bulan Sa'ban atau Ruwah.

"Dawuh Nabi, pertengahan bulan Sa'ban itu amal kita diunggahke (dinaikkan), dicatatkan. Maka namanya Punggahan," 

Komentar